RUU TNI 2025: Antara Reformasi Militer dan Ancaman Demokrasi
Pendahuluan
Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) tahun 2025 menjadi sorotan utama publik dan aktor politik di Indonesia. RUU ini dinilai berpotensi mengubah wajah hubungan sipil-militer di Indonesia. Di tengah transisi pemerintahan pasca Pemilu 2024, pembahasan revisi UU TNI mengundang berbagai tanggapan dari akademisi, tokoh masyarakat, mahasiswa, hingga lembaga internasional.
Latar Belakang Revisi UU TNI
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI telah menjadi dasar hukum selama lebih dari dua dekade. Namun, pemerintah menyatakan perlunya revisi agar peran TNI dapat disesuaikan dengan dinamika ancaman modern dan kebutuhan pertahanan negara yang lebih adaptif. Dalam RUU yang baru, pemerintah mengusulkan perluasan peran TNI dalam bidang non-militer, termasuk:
- Penanggulangan terorisme
- Penanganan bencana alam
- Dukungan terhadap pembangunan nasional
- Partisipasi dalam keamanan siber
Pemerintah menyatakan bahwa perluasan tugas tersebut bersifat “perbantuan” dan tetap berada di bawah kendali sipil. Namun, tidak sedikit pihak yang menilai ada indikasi militerisme dalam skala sipil yang kian menguat.
Isi Kontroversial dalam RUU TNI
Berikut beberapa poin dalam draf RUU yang menuai kritik tajam:
- Penambahan Tugas TNI dalam Ranah Sipil
RUU TNI menyebutkan bahwa TNI dapat terlibat dalam lebih dari 18 bentuk tugas tambahan di luar perang, termasuk pengamanan objek vital nasional, pengamanan aksi unjuk rasa, dan pengamanan pemilu. - Keterlibatan TNI dalam Penegakan Hukum
RUU membuka peluang TNI untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam kasus terorisme, narkotika, dan cybercrime. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah TNI akan memiliki wewenang penangkapan? - Jabatan Sipil Bagi Perwira Aktif
Poin ini mengizinkan prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil tertentu tanpa harus mundur dari militer. Banyak pihak menganggap ini sebagai bentuk kemunduran dari semangat reformasi 1998.
Reaksi dan Penolakan Publik
RUU TNI memicu gelombang penolakan dari berbagai kelompok masyarakat. Sejak Maret 2025, gelombang demonstrasi terjadi di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.
Demonstrasi Mahasiswa: Mahasiswa dari kampus seperti UI, UGM, ITB, dan Trisakti menyuarakan penolakan terhadap militerisasi ruang sipil. Aksi turun ke jalan membawa slogan “Reformasi Dikorupsi” dan “TNI Kembali ke Barak”.
Pandangan Akademisi: Para pengamat menilai bahwa revisi ini bertentangan dengan prinsip civil supremacy — yaitu supremasi sipil atas militer dalam negara demokratis.
Tanggapan Pemerintah dan TNI
Pemerintah menyatakan bahwa tidak ada niat untuk mengembalikan militer ke zaman Orde Baru. Revisi bertujuan memperkuat negara dalam menghadapi tantangan keamanan non-tradisional. Pihak TNI menyebut bahwa keterlibatan militer dalam urusan sipil bersifat “bantuan” dan tetap di bawah koordinasi sipil, terutama Presiden dan kementerian terkait.
Dampak Terhadap Demokrasi
- Pelemahan Supremasi Sipil: Keterlibatan militer di banyak sektor akan melemahkan peran sipil dan DPR sebagai pengawas kebijakan keamanan.
- Risiko Pelanggaran HAM: Dengan kewenangan baru di luar ranah militer, TNI berpotensi melakukan tindakan di luar prosedur hukum sipil.
- Preseden Bagi Militerisasi Politik: RUU ini membuka ruang bagi politisasi militer, terutama menjelang Pilkada atau Pemilu mendatang.
Pembandingan Internasional
Di negara-negara demokrasi seperti India, Inggris, dan Amerika Serikat, militer tetap dibatasi pada fungsi pertahanan nasional dan tidak memiliki peran dominan dalam urusan domestik kecuali dalam situasi darurat.
RUU TNI justru memberi ruang sangat luas bagi militer untuk memasuki hampir seluruh sektor kehidupan nasional.
Langkah yang Dapat Ditempuh
- Keterlibatan Masyarakat Sipil dalam Proses Legislasi: DPR harus membuka ruang publik untuk diskusi mendalam sebelum RUU disahkan.
- Audit Independen Terhadap Kebutuhan dan Fungsi TNI: Harus dipastikan bahwa revisi berbasis pada kebutuhan riil, bukan kepentingan politik.
- Penguatan Peran Polisi dan Lembaga Sipil: Keamanan domestik harus tetap menjadi tanggung jawab utama kepolisian.
Kesimpulan
RUU TNI 2025 adalah dokumen yang sangat penting dan menentukan arah hubungan sipil-militer ke depan. Di satu sisi, reformasi TNI diperlukan untuk menjawab tantangan keamanan masa kini. Namun, di sisi lain, perlu kewaspadaan terhadap kemungkinan kembalinya militerisme dalam kehidupan sipil.
Jika tidak dikawal secara ketat, RUU ini bisa menjadi pintu masuk bagi kemunduran demokrasi di Indonesia. Masyarakat sipil, DPR, dan media harus memainkan peran kunci dalam menjaga prinsip reformasi dan supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak 1998.
Label: RUU TNI, Revisi UU TNI, Politik Indonesia, Militer Indonesia, Reformasi 2025, Supremasi Sipil, Mahasiswa Demo, Demokrasi Indonesia, Politik Terkini
Tidak ada komentar: